14 August 2011

IMF Munafik



KOMPAS.com - Ingat saat krisis moneter menimpa Indonesia tahun 1997? Masih terkenang bagaimana Michel Camdessus, saat itu Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional, sembari berlipat tangan mengawasi almarhum Presiden Soeharto meneken surat berisi janji mereformasi ekonomi atas desakan IMF.

Kemudian, muncul berita, Bill Clinton, saat itu Presiden AS, sampai menelepon Soeharto agar memenuhi desakan IMF, yang dianggap sebagai alat kekuasaan Konsensus Washington.

Masih ingat juga keberangan Bob (Mohamad) Hasan, saat itu menjabat Menteri Perindustrian, yang dengan jengkel mengatakan, Indonesia bukanlah republiknya IMF. Ini merujuk kepada kejengkelannya atas desakan-desakan IMF agar Indonesia melakukan deregulasi, termasuk membubarkan Bulog, yang kemudian mengakibatkan kehancuran sistem pengadaan dan harga-harga bahan pokok.

Teringat juga Ginandjar Kartasasmita, saat itu Menko Perekonomian, bolak-balik memimpin rapat karena IMF selalu memantau setiap langkah dan janji soal reformasi ekonomi.

Janji ini selalu dikaitkan dengan pengucuran dana. Jika janji reformasi terlambat, kucuran dana pun terancam. Maka, saat itu istilah letter of intent (LOI) terkenal di kalangan wartawan peliput krisis. LOI ini berisi langkah-langkah dan realisasi reformasi yang didiktekan IMF terhadap RI.

Hal ini seiring dengan pelarian modal dari Indonesia yang membuat Indonesia menghadap ke IMF untuk mendapatkan dana talangan 43 miliar dollar AS.

Setelah itu, masih jelas dalam ingatan, Direktur IMF untuk Urusan Asia Pasifik Hubert Neiss bolak-balik mengawasi perkembangan reformasi ekonomi Indonesia.

Semua itu memang merupakan buah dari keteledoran pebisnis Indonesia yang meminjam dana murah dari luar negeri, tetapi ditanamkan di sektor properti yang tidak laku.

Hal itu juga sehubungan dengan penumpukan utang negara Indonesia, padahal di sisi lain wabah korupsi marak dan bumper untuk menghadapi tidak disiapkan. Maka, muncul sejarah ”penghinaan” oleh IMF terhadap RI, yang mungkin tak akan pernah dilupakan sebagian kalangan Indonesia.

”Tak berani”

Kini, krisis lebih-kurang serupa menghadang zona euro, julukan bagi 17 negara pengguna mata uang tunggal euro. Krisis utang juga menimpa markas dan ikon utama ekonomi pasar serta markasnya Konsensus Washington, yakni AS.

Namun, di mana IMF sekarang? Apa perintah Dominique Strauss-Kahn, Direktur Pelaksana IMF, yang kini digantikan oleh Christine Lagarde?

Adakah IMF memaksa negara-negara itu menyusun LOI? Adakah IMF menghardik AS dan zona euro agar menyehatkan perekonomian sejak dini? Jika iya, apakah IMF berani memublikasikan keburukan dan kebijakan ekonomi AS dan zona euro sebagaimana pernah dilakukan kepada RI dan sejumlah negara berkembang lainnya?

Dr Rizal Ramli, pengamat ekonomi, dulu sudah mengingatkan akan bahaya tekanan IMF soal deregulasi. Demikian juga Kwik Kian Gie sangat kritis terhadap IMF karena dianggap tidak bisa memahami keadaan di Indonesia dan hanya memaksakan resep-resep ekonomi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kaum papa Indonesia.

Masih ingat pula sebuah gerobak mi ayam dibiarkan telantar di pinggir jalan di Kali Malang, Jakarta Timur. Pemiliknya meninggalkan tulisan tangan. Ini isinya, ”terkena krisis moneter”. Krisis justru memburuk setelah resep IMF, dengan fokus liberalisasi, yang membuat mahal harga terigu saat itu. Ah, munafiknya IMF. (MON)



Sejak bila IMF tidak munafik? Atau negara-neagra yang mengambil dana IMF tidak pandai mengatur duit yang telah diberi oleh IMF? Siapa yang munafik di sini sebenarnya? IMF hanya menjalankan tugasnya. Kalau dipaksa sekalipun, jika tidak menurut tidak menjadi hal. Yang terbaik adalah negara aku tidak terlibat dengan tuduhan munafik di sana sini atas tiket krisis matawang dan kemeruduman ekonomi.

Selamat Hari Kebangsaan ke 54. Mari kita memikirkan hal-hal lain selain merasa terjebak dengan krisis ini yang telah belaku 12 tahun yang lalu. Eloknya kita memikirkan apa kaedah yang lebih baik untuk berhemat dalam membelanjakan wang Perbendaharaan. Setakat menutup lampu antara jam 1300-1400 dan arahan berpusat menutup lampu selepas 1900 serta menetapkan pendingin hawa pada aras 24c, hanya bersifat pendalaman atau hulu sahaja. Sekarang ni trend menyebut pokok dan hutan.Tapi setakat sebut sahaja tak guna, pokok tu semakin besar dan besar. Awat nak bela buat pokok balak ka??

Kurangkan perkara-perkara yak yea yang membazir serta dianggap hebat dari segi pelaksanaan tetapi kesan langsung dan tidak langsung kepada rakyat entah ke laut perginya. Biar berpatutan tapi impak berleluasa.

1 comment:

Anonymous said...

11. Towards the end of the 1990s, however, the relationship with Mahathir had begun to deteriorate, triggered by their conflicting views on governance. In Mahathir's absence, Anwar had independently taken radical steps to improve the country's governing mechanisms which were in direct conflict with Mahathir's capitalist policies. Issues such as how Malaysia would respond to a financial crisis were often at the forefront of this conflict. Anwar may be outspoken but he is no accountant or understand finance!

12. Anwar's frontal attack against what he described as the widespread culture of nepotism and cronyism within UMNO (and the ruling coalition as a whole) angered Mahathir, as did his attempts to dismantle the protectionist policies that Mahathir had set up. "Cronyism" was identified by Anwar as a major cause of corruption and misappropriation of funds in the country. See how Anwar manipulate and disguise his own doing by blaming others? Yes, that is Anwar gift! He can tell you lies and make you believe it is a fact.

13. During the 1997 Asian Financial Crisis Anwar, as finance minister, supported the International Monetary Fund (IMF) plan for recovery (remember when bank loan interest went up as high as 20%?). He also instituted an austerity package that cut government spending by 18%, cut ministerial salaries and deferred major projects. "Mega projects", despite being a cornerstone of Mahathir's development strategy, were greatly curtailed. By cutting all these, Anwar thought he can stop or kill Tun's in his tracks. Making Tun a failure as leader that was the main attention. While doing so, Anwar uses the people suffering which was inflicted by him to force Tun into early "retirement".

14. Although many Malaysian companies faced bankruptcy, Anwar declared: "There is no question of any bailout. The banks will be allowed to protect themselves and the government will not interfere." Anwar advocated a free-market approach to the crisis, including foreign investment and trade liberalisation. Mahathir blamed unchecked currency speculators like George Soros and supported currency controls and tighter regulation of foreign investment.